oleh: Pdt DR Johny Weol STh, MMin, MDiv, MM, MTh
(Ketua Sekolah Tinggi Teologia Pantekosta Jakarta)
(Ketua Sekolah Tinggi Teologia Pantekosta Jakarta)
I.Metodologi
Perkembangan Teologi Pantekosta di Indonesia menjadi sebuah fenomena di kalangan gereja belakangan ini.Berbagai pihak mencoba untuk mendapatkan jawaban dari semuanya ini melalui diskusi-diskusi non formal. Adanya ledakan-ledakan peristiwa adanyamujizat merupakanfenomena kerja Roh Kudus yang sangat dipahami, diterima dan diimani oleh warga Pantekosta pada umumnya.
Perbincangan demi perbincangan telah menjadi komsusi keseharian di tengah masyarakat luas sebagai respons terhadap segala bentuk manifestasi Roh Kudus didalam komunitas GerejaTuhan.
Walaupun masih ditemukan adanya sebagian masyarakat gereja yang
bersikap apatis terhadap hal tersebut di atas,atau gereja bersikap apriori, namun dikalangan gereja Pantekosta dan gereja-gereja se aliran, manifestas Roh Kudus diterima sebagai lawatan Alah didalam dunia ini.
Dalam rangka penelitian teologia yang bernuansa karya nyata Roh Kudus, diperlukan suatu pendekatan yang tidak hanya mengambil jarak sebagai penganut dari luar, tetapi sebaiknya ikut serta masuk kedalam pengalaman pribadi dengan Roh Kudus. Dalam konteks penelitian fenomena ini,diperlukan pendekatan metodologi empatik, sehingga hasil penggambaran dan penyimpulan tidak hanya bersifat
“superficial” yaitu hanya di permukaan atau kulitnya saja sehingga
gagal memahami esensi dan hakikatfenomena yang diteliti.
Kegagalan seperti ini sering memunculkan sifat dari sikap merendahkan bahkan menganggap sebagai aliran sesat. Untuk meneliti fenomena Pantekosta ini juga diperlukan pendekatan yang melibatkan “PATHOS" karena aliran ini menimbulkan dimensi ketiga dalam spiritualitasnya, yaitu tidak hanya pada ranah ”orthodoxy” (ajaran yang benar) dan “orthopraxi" (praktek yang benar).
Fenomena Pantekosta sebagai suatu
pengalaman dan perwujudan realita Tuhanyang kaya akan fenomena-fenomena
spritual yang diekspresikandalam berbagai bentuk. Melalui pendekatan yang bersifat kualitatif, manusia sebagai peneliti menjadikan dirinyaterlibat sekaligus kritis terhadap fenomena Tuhan .
Pendekatan ini adalah suatu keniscayaandalam penelitian teologi karena manusia tidak dapat meneliti Tuhan yang empirik dan sebatas teoritik.
II. Teologi Baptisan Roh Kudus Sebagai Ke-khasan-an Teologi Pantkosta
Menurut para para peneliti akan hal ini, tidak mudah mengenal ciri
khas aliran Pantekosta karena sejak kelahirannyaada banyak pokok
teologisyang ditekan oleh para pelopor gerakan ini untuk
mencirikanidentitasnya.
Stenley M Burggess dalam bukunya yang berjudul “The International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movement” mengemukakan bahwa Pantekosta sendiri tidakseragam dalam merumuskan ke-khas-an gerakan ini, misalnya Doktrin Bahasa Lidah sebagai bukti awal baptisan Roh Kudus, musik beraliran keras,kesembuhan Ilahi dll.
Baptisan Roh Kudus sebagai sebuah peristiwa menjadi sangat penting secara teologis karena pengalaman ini memilki kedudukan
sama pentingnya dengan baptisan air yang tadinya dianggap merupakan
satu-satunya peristiwa ke-agamaan yang menentukan dalam inisiasi
seseorang untuk masuk kedalam ke-keristenan sebagai satu sistem
ke-agamaan yang menawarkan keselamatan.
Dengan dirumuskannya fenomena
Glosolalia (bahasa lidah) sebagai bukti awal baptisan roh Kudus maka
teologi Pantekosta telah menggoyahkan tesis teoritik dari aliran-aliran
sebelumnnya tentang kehadiran
Roh Kudus yang dipahami bahwa kehadiran Roh Kudus memang ada, tetapi
tidak dapat dinikmati secara empiris karena dinyatakan hanya sebagai
realita yang diimani.
Benih-benih empirik sebenarnya telah muncul pada teologi Wesleyan sebagai persiapan bagi hadirnya teologi Pantekosta.
John Wesley adalah seorang anak pendeta Anglican yang kemudian mendapati bahwa ke-kristenan yang di-imaninya ternyata belum memadai ketika dengan jujur ia melihat realita dan kualitas ke-imanan dirinya sendiri dan masyarakat kristen pada waktu itu. Setelahia mengalami suatu peristiwa yang dapat dirasakanya secara fisis, yaitu
sebuah fenomena hangat dalam hatinya, yang kemudian ia menyebut
sabagaifenomena berkat kedua benar-benar mengubah hidupnya.
Hal yang dimaksud dengn fenomena
berkat kedua dari Jhon Wesley, adalah adanya teologis pengudusan yang
dikenal sebagai “sanctification”.
Baginya hidup bukanlah hanya suatu teori atau konsep teologi, melainkan suatu realita yang dialami. Hidup
kudus sebagimana yang dicita-citakan dalam “Holyness Movement” yang
muncul pada zaman sebelumnya tidak hanya sebatas cita-cita tetapi dapat
terwujud secara empirik dalam kehidupan ke-kini-an.
Pola pikir fenomologis Johnn Wesley
seperti itu, dalam merumuskan teologi kekudusan merupakan “Paradigm
Shift” atau “Patron Perubahan” yang mempersiapkan munculnnya model
rekonstruksi teologi empirik dalam dunia kristiani yang dieksploitasikan
oleh kelompok Pantekosta dengan memunculkan fenomena bahasa lidah
sebagai “bukti awal” atau ”Initial Evidence” dan terjadinya baptisan Roh
Kudus.
Dari segi penelitian teologi,melalui pendekatan historis,perumusan teologi Pantekosta tentang fenomena bahasa lidah yang dihasilkan melalui penelitian teks Kisah Para Rasul oleh murid-murid,Charles
Parkam yang didialogkan dengan gereja yang dialami oleh Agnes Ozman
pada tanggal 1 Januari 1901 adalah sebuah terobosan paradigmatikyang dapat memfasilitasi kebutuhan penelitian ilmiah teologi medern akan fenomena empirik.
AliranPantekosta merumuskann peristiwa bahasa lidah sebagai sebuah bukti/evidence dari baptisan Roh kudus,bukan dalam prespektif tahap teologis “Justification" (pembenaran)- pengalaman tahap I, atau teologis “Sanctification" (pengududusan)- pengalaman tahap II tetapi meningkat pada realita “kuasa Allah” tahap III. Dalam pelayanan dan misi di tengah dunia yang dikuasai roh-roh jahat ini.
AliranPantekosta merumuskann peristiwa bahasa lidah sebagai sebuah bukti/evidence dari baptisan Roh kudus,bukan dalam prespektif tahap teologis “Justification" (pembenaran)- pengalaman tahap I, atau teologis “Sanctification" (pengududusan)- pengalaman tahap II tetapi meningkat pada realita “kuasa Allah” tahap III. Dalam pelayanan dan misi di tengah dunia yang dikuasai roh-roh jahat ini.
III. Memahami Gelombang Pertama Teologi Pantekosta di Indonesia
Sedikit menemui kesulitan untuk menelusuri
perkembangan teologi Pantekosta di indonesia karena pengaruh masyarakat
yang lebih terbiasa dengan budaya lisan,ikut menguatkan kecenderungan
pengabaian tradisi tulisan akademik.
Melalui pendekatan historis,
pengaruh aliran Pantekosta dihadirkan di bumi Indonesia pada tahun 1921
oleh dua orang Evangelis yaitu Cornelius Groesbeek dan Richard Van
Klaveren, dengan membawa keluarga masing-masing dari Seattle Washington Amerika Serikat.
Berdasarkan penjabaran nyata, berupa penglihatan mereka menuruti panggilan Allah untuk membawa gerakan Roh Kudus yang semula terjadi di Azusa Street ke Indonesia. Dari misi inilah kemudian muncul komunitas gerejawi yang melembaga dengan label Gereja Pantekosta di Indonesia yang di kenal dewasa ini setelah mengalami beberapa kali perubahan nama. Dari Gereja Pantekosta di Indonesia inilah bermunculan beberapa nama Gereja sinodal yang bernuansa Pantekosta yang kemudian tergabung dalam sebuah lembaga Gerejawi aras Nasional yang dikenal dengan sebutan “PGPI - Persekutuan Gereja-gereja Pantekosta Indonesia”.
IV. Memahami Gelombang Kedua teologi Pantekosta di Indonesia.
Pada periode tahun 60/70an muncul gerakan Neo Pantekosta dengan fenomena adanya “muntah-muntah dalam roh” sebagai upaya mengusir roh jahat dari seseorang, penumpangan tangan atas aquarium,dan hal-hal yang tidak lazimjika
ditinjau dari segi prespektif teologis Kristiani. Menariknya adalah
dikalangan katolik fenomena ini melahirkan gerakan Kharismatik Katolik,
sedangkan dikalangan gereja-gereja mainstream gerakan Neo Pantekosta ini diberi label sebagai gerakan Kharismatik dan dinilai sedikit bergeser dari alur Alkitab.
V.Memahami Gelombang Ketiga Teologi Pantekosta di Indonesia.
Pada dekade 80/90an gelombang
ketiga gerakan Pantekosta melanda seluruh dunia dan memberi pengaruh
kepada gereja-gereja lain, terutama gereja-gereja Protestan tradisional,
juga kepada kaum teolog dari perguruan tinggi teologi Injili yang tidak
akrab dengan bahasa lidah dan mujizat. Tokoh
seperti Dennis Bennet dari gereja Episkopal, Peter Wagner yang berlatar
belakang gereja Presbiterian menerbitkan buku-buku yang kumudian
diterjemahkanke dalam bahasa Indonesia dan diserap oleh warga gereja di
Indonesia. Beberapa ke-ciri-an yang unik ditapilkan dalam perjalanan teologi Pantekostal.
Gelombang Ketiga ini antara lain: adanya penggunaan media lain yang
mengekspresikan perjalanan ke-iman-an seperti, ”minyak urapan” dan
penegakann kembali ajaran “Sakramentolologi Trans-substansiasi” melalui
komunikasi kharismaik yang seolah manusia tertentu dapat menjumpai Allah
secara pribadi didalam Surga.
Pengalaman seorang Rasul Paulus seperti yang tertulis daam 2 Korintus 12:1-6, adalah pengalaman secara individual yang terjadi hanya sekali terjadi dan tidak berulang-ulang. Fenomena
intervensi dunia roh yang memiliki kemiripan dengan model ini
sebenarnya terjadi diluar kekristenan, seperti yang terjadi dalam kasus
Lia Eden yang menyamakan Roh Kudus dengan Malaikat, dan di India dalam bentuk gejala profetik lokal yakni munculnya Nabi di India.
Pemaparan tesis ini tidak menyeret kita kedalam sebuah imajinasi untuk menghakimi namun lebih ke ranah
memperkaya wawasan teologis dan menguji kemurnian iman kita.
Pertimbagan benar tidaknya teologi yang dianut oleh seseorang atau suatu
kelompok adalah hak absolut dari Sang Pemilik gereja yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Dengan berpatokan pada ayat Firman Allah sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 13:25-26 tentang ilalang dan gandum, bagi kami “STTPJ” akan terus mengembangkan upaya proses belajar mengajar sesuai moto yang dianut yaitu: ”Diperlengkapi Untuk melayani” dengan tetap berpegang pada doktrin Alkitabiah untuk menjaga kemurnian iman.
Orasi ilmiah ini disampaikan pada 29 juni 2013
Dalam acara wisuda ke V – STTPJ
kiriman: Pdt. Tenny Deen Jakarta
0 komentar