: :

Navbar Bawah

Cari Blog Ini

Minggu, 02 November 2014

Mencermati Perkembangan Teologi Pantekosta di Indonesia

oleh: Pdt  DR Johny Weol STh, MMin, MDiv, MM, MTh
(Ketua Sekolah Tinggi Teologia Pantekosta Jakarta)
I.Metodologi
Perkembangan Teologi Pantekosta di Indonesia  menjadi sebuah fenomena di kalangan gereja belakangan ini.Berbagai pihak mencoba  untuk mendapatkan jawaban dari semuanya ini  melalui diskusi-diskusi  non formal. Adanya ledakan-ledakan peristiwa adanyamujizat merupakanfenomena kerja Roh Kudus yang sangat dipahami, diterima dan diimani oleh warga Pantekosta pada umumnya.

Perbincangan demi perbincangan telah menjadi komsusi  keseharian di tengah masyarakat luas sebagai respons  terhadap segala bentuk  manifestasi  Roh Kudus didalam komunitas  GerejaTuhan. Walaupun masih ditemukan adanya sebagian masyarakat gereja yang bersikap apatis terhadap hal tersebut di atas,atau gereja bersikap apriori, namun dikalangan gereja Pantekosta dan gereja-gereja se aliran, manifestas Roh Kudus diterima sebagai lawatan  Alah didalam dunia ini.
Dalam rangka penelitian teologia yang bernuansa karya nyata Roh Kudus, diperlukan suatu pendekatan yang tidak hanya mengambil  jarak sebagai penganut dari luar, tetapi sebaiknya ikut  serta masuk kedalam pengalaman  pribadi dengan Roh Kudus. Dalam konteks penelitian  fenomena ini,diperlukan pendekatan metodologi  empatik, sehingga hasil penggambaran dan penyimpulan tidak hanya  bersifat  “superficial” yaitu hanya di permukaan atau kulitnya saja sehingga gagal memahami esensi dan hakikatfenomena yang diteliti.
Kegagalan seperti ini sering  memunculkan  sifat dari sikap merendahkan bahkan menganggap sebagai aliran sesat. Untuk meneliti  fenomena Pantekosta ini juga diperlukan pendekatan yang melibatkan “PATHOS" karena aliran ini menimbulkan dimensi  ketiga dalam spiritualitasnya, yaitu tidak hanya pada ranah ”orthodoxy” (ajaran yang benar) dan “orthopraxi" (praktek yang benar).
Fenomena Pantekosta sebagai suatu pengalaman dan perwujudan realita Tuhanyang kaya akan fenomena-fenomena spritual yang diekspresikandalam berbagai bentuk. Melalui  pendekatan yang bersifat kualitatif, manusia sebagai peneliti menjadikan dirinyaterlibat sekaligus kritis terhadap fenomena Tuhan .
Pendekatan ini adalah suatu keniscayaandalam penelitian teologi karena manusia tidak dapat meneliti Tuhan yang empirik dan sebatas teoritik.
II. Teologi Baptisan Roh Kudus Sebagai Ke-khasan-an Teologi Pantkosta
Menurut para para peneliti akan hal ini, tidak mudah mengenal  ciri khas aliran Pantekosta karena sejak kelahirannyaada banyak pokok teologisyang ditekan oleh para pelopor gerakan ini untuk mencirikanidentitasnya.
Stenley M Burggess dalam bukunya  yang berjudul “The International Dictionary of Pentecostal  and Charismatic Movement” mengemukakan bahwa Pantekosta sendiri tidakseragam dalam merumuskan ke-khas-an gerakan ini, misalnya Doktrin Bahasa Lidah sebagai bukti awal baptisan Roh Kudus, musik beraliran keras,kesembuhan Ilahi dll.
Baptisan Roh Kudus sebagai sebuah peristiwa menjadi sangat penting secara teologis karena pengalaman ini memilki  kedudukan sama pentingnya dengan baptisan air yang tadinya dianggap merupakan satu-satunya peristiwa ke-agamaan yang menentukan dalam inisiasi seseorang untuk masuk kedalam ke-keristenan sebagai satu sistem ke-agamaan yang menawarkan  keselamatan.
Dengan dirumuskannya fenomena Glosolalia (bahasa lidah) sebagai bukti awal baptisan roh Kudus maka teologi Pantekosta telah menggoyahkan tesis teoritik dari aliran-aliran sebelumnnya tentang  kehadiran Roh Kudus yang dipahami bahwa kehadiran Roh Kudus memang ada, tetapi tidak dapat dinikmati secara empiris karena dinyatakan hanya sebagai realita yang diimani.
Benih-benih empirik  sebenarnya telah muncul pada teologi Wesleyan sebagai persiapan bagi hadirnya teologi Pantekosta.                                                                                                                                                                                      John Wesley adalah seorang anak pendeta Anglican yang kemudian mendapati bahwa ke-kristenan yang di-imaninya  ternyata belum memadai ketika dengan jujur ia melihat realita dan kualitas ke-imanan dirinya sendiri dan masyarakat kristen pada waktu itu. Setelahia mengalami suatu peristiwa yang dapat dirasakanya secara fisis, yaitu sebuah fenomena hangat dalam hatinya, yang kemudian ia menyebut sabagaifenomena berkat kedua benar-benar mengubah hidupnya.
Hal yang dimaksud dengn fenomena berkat kedua dari Jhon Wesley, adalah adanya teologis pengudusan yang dikenal sebagai “sanctification”.
Baginya hidup bukanlah hanya suatu teori atau konsep teologi, melainkan suatu realita yang dialami. Hidup kudus sebagimana yang dicita-citakan dalam “Holyness Movement” yang muncul pada zaman sebelumnya tidak hanya sebatas cita-cita tetapi dapat terwujud secara empirik dalam kehidupan ke-kini-an.
Pola pikir fenomologis Johnn Wesley seperti itu, dalam merumuskan teologi kekudusan merupakan “Paradigm Shift” atau “Patron Perubahan” yang mempersiapkan munculnnya model rekonstruksi teologi empirik dalam dunia kristiani yang dieksploitasikan oleh kelompok Pantekosta dengan memunculkan fenomena bahasa lidah sebagai “bukti awal” atau ”Initial Evidence” dan terjadinya baptisan Roh Kudus.
Dari segi penelitian teologi,melalui pendekatan historis,perumusan teologi Pantekosta tentang fenomena bahasa lidah yang dihasilkan melalui penelitian teks Kisah Para Rasul oleh murid-murid,Charles Parkam yang didialogkan dengan gereja yang dialami oleh Agnes Ozman pada tanggal 1 Januari 1901 adalah sebuah terobosan paradigmatikyang dapat memfasilitasi kebutuhan penelitian ilmiah teologi medern akan fenomena empirik.

Al
iranPantekosta merumuskann peristiwa bahasa lidah sebagai sebuah bukti/evidence dari baptisan Roh kudus,bukan dalam prespektif tahap teologis “Justification" (pembenaran)- pengalaman tahap I, atau teologis “Sanctification" (pengududusan)- pengalaman tahap II tetapi meningkat pada realita “kuasa Allah” tahap III. Dalam pelayanan dan misi di tengah dunia yang dikuasai roh-roh jahat ini.
III. Memahami Gelombang Pertama Teologi Pantekosta di Indonesia
Sedikit menemui kesulitan untuk menelusuri perkembangan teologi Pantekosta di indonesia karena pengaruh masyarakat yang lebih terbiasa dengan budaya lisan,ikut menguatkan kecenderungan pengabaian tradisi tulisan akademik.
Melalui pendekatan historis, pengaruh aliran Pantekosta dihadirkan di bumi Indonesia pada tahun 1921 oleh dua orang Evangelis yaitu Cornelius Groesbeek dan Richard Van Klaveren, dengan membawa keluarga masing-masing dari Seattle Washington Amerika Serikat.                                                                                        

Berdasarkan penjabara
n nyata, berupa penglihatan mereka menuruti panggilan Allah untuk membawa gerakan Roh Kudus yang semula terjadi di Azusa Street ke Indonesia. Dari misi inilah kemudian muncul komunitas gerejawi yang melembaga dengan label  Gereja Pantekosta di Indonesia yang di kenal dewasa ini setelah mengalami beberapa kali  perubahan nama. Dari Gereja Pantekosta di Indonesia inilah bermunculan beberapa nama Gereja sinodal yang bernuansa Pantekosta yang kemudian tergabung dalam sebuah lembaga Gerejawi aras Nasional yang dikenal dengan sebutan “PGPI - Persekutuan Gereja-gereja Pantekosta Indonesia”.
IV. Memahami Gelombang Kedua teologi Pantekosta di Indonesia.
Pada periode tahun 60/70an muncul gerakan Neo Pantekosta dengan fenomena adanya “muntah-muntah dalam roh” sebagai upaya mengusir roh jahat dari seseorang, penumpangan tangan atas aquarium,dan hal-hal yang tidak lazimjika ditinjau dari segi prespektif teologis Kristiani. Menariknya adalah dikalangan katolik fenomena ini melahirkan gerakan Kharismatik Katolik, sedangkan dikalangan gereja-gereja mainstream gerakan Neo Pantekosta ini diberi label sebagai gerakan Kharismatik dan dinilai sedikit bergeser dari alur Alkitab.
V.Memahami Gelombang Ketiga Teologi Pantekosta di Indonesia.
Pada dekade 80/90an gelombang ketiga gerakan Pantekosta melanda seluruh dunia dan memberi pengaruh kepada gereja-gereja lain, terutama gereja-gereja Protestan tradisional, juga kepada kaum teolog dari perguruan tinggi teologi Injili yang tidak akrab dengan bahasa lidah dan mujizat.                                                                 Tokoh seperti Dennis Bennet dari gereja Episkopal, Peter Wagner yang berlatar belakang gereja Presbiterian menerbitkan buku-buku yang kumudian diterjemahkanke dalam bahasa Indonesia dan diserap oleh warga gereja di Indonesia. Beberapa ke-ciri-an  yang unik ditapilkan dalam perjalanan teologi Pantekostal. Gelombang Ketiga ini antara lain: adanya penggunaan media lain yang mengekspresikan perjalanan ke-iman-an seperti, ”minyak urapan” dan penegakann kembali ajaran “Sakramentolologi Trans-substansiasi” melalui komunikasi kharismaik yang seolah manusia tertentu dapat menjumpai Allah secara pribadi didalam Surga.
Pengalaman seorang Rasul Paulus seperti yang tertulis daam 2 Korintus 12:1-6, adalah pengalaman secara individual yang terjadi hanya sekali terjadi dan tidak berulang-ulang. Fenomena intervensi dunia roh yang memiliki kemiripan dengan model ini sebenarnya terjadi diluar kekristenan, seperti yang terjadi dalam kasus Lia Eden yang menyamakan Roh Kudus dengan Malaikat, dan di  India dalam bentuk gejala profetik lokal yakni munculnya Nabi di India.
Pemaparan tesis ini tidak menyeret kita kedalam sebuah imajinasi  untuk menghakimi namun lebih ke ranah memperkaya wawasan teologis dan menguji kemurnian iman kita. Pertimbagan benar tidaknya teologi yang dianut oleh seseorang atau suatu kelompok adalah hak absolut dari Sang Pemilik gereja yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Dengan berpatokan pada ayat Firman Allah sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 13:25-26 tentang ilalang dan gandum, bagi kami “STTPJ” akan terus mengembangkan upaya proses belajar mengajar sesuai moto yang dianut yaitu: ”Diperlengkapi Untuk melayani” dengan tetap berpegang pada doktrin Alkitabiah untuk menjaga kemurnian iman.

Orasi ilmiah ini disampaikan pada 29 juni 2013
Dalam acara wisuda ke V – STTPJ
kiriman: Pdt. Tenny Deen Jakarta

0   komentar

Cancel Reply